Bagi para pecinta kuliner, nama Sate Domba Garut Matuh sudah tidak asing lagi, terutama bagi mereka yang sering menjelajahi kelezatan di kota Garut, Jawa Barat. Warung yang telah berdiri kokoh selama setengah abad ini, tepatnya 50 tahun, menyimpan kisah panjang perjalanan rasa dan ketahanan menghadapi perubahan zaman, namun kini dihadapkan pada tantangan serius: ancaman hilangnya penerus.
Keunikan Sate Domba Garut Matuh: Lebih dari Sekadar Sate
Berbeda dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang lebih akrab dengan sate kambing, di Garut, sate domba menjadi primadona. Hal ini tak lepas dari karakteristik domba Garut yang terkenal dengan tanduknya yang khas dan cita rasa dagingnya yang istimewa. Sate Domba Garut Matuh menjadi salah satu bukti nyata bagaimana kekayaan kuliner daerah mampu memikat lidah para penikmatnya.
Endang Sopandi, sosok yang kini meneruskan usaha dari ibunya, Siti Romlah yang memulai warung pada tahun 1975, berbagi pengalamannya. “Sepengetahuan saya domba garut itu awalnya lebih banyak ada di Limbangan, kalau kambing kan dari Jawa. Jadi sebetulnya ya sate-sate yang dijual di Garut ini pasti kebanyakan dari domba,” ungkap pria berusia 70 tahun ini. Endang sendiri mulai aktif mengelola warung pada tahun 1980-an. Setiap harinya, ia dibantu enam pekerja yang bahu-membahu dalam proses penyajian sate, mulai dari pembakaran hingga pelayanan.
Rahasia Kelezatan yang Konsisten
Kelezatan Sate Domba Garut Matuh tidak hanya terletak pada pemilihan domba Garut berkualitas, tetapi juga pada proses pengolahan yang cermat. Mulai dari pemilihan daging segar, penanganan pasca potong, teknik pembakaran yang khas, hingga racikan bumbu kacang yang menggugah selera.
Endang berbagi tips sederhana namun krusial: daging yang baru dipotong, yang cenderung basah dan mengandung sedikit darah putih, cukup dilap dengan kain bersih. “Agar tidak menimbulkan bau sebaiknya cukup dilap dengan kain bersih, jangan dicuci,” jelasnya. Teknik ini, yang telah terbukti ampuh selama puluhan tahun, membuat daging sate tetap segar dan bebas dari aroma tak sedap.
Keahlian Membakar yang Turun-temurun
Soal teknik pembakaran, Endang hanya tersenyum tipis. Tak ada takaran pasti, semua berdasarkan pengalaman dan “feeling”. Kunci utamanya adalah bara arang yang membara sempurna dan proses membolak-balik daging yang tepat. “Bahwa feeling saat membakar kurang baik, pelanggan komplen kurang matang ya tinggal dibakar ulang saja,” katanya santai. Namun, hal itu nyaris tak pernah terjadi. Kepuasan pelanggan adalah bukti nyata keahliannya.
Selain sate, warung ini juga menyajikan gulai sebagai pelengkap. Bumbu gulai diracik secara khusus dan dibungkus kain sebelum direbus. Teknik ini memastikan rasa rempah meresap sempurna tanpa membuat kuah menjadi terlalu kental atau kehilangan rasa.
Tantangan di Tengah Kelezatan: Ancaman Tanpa Penerus
Selama 40 tahun mengelola warung ini, Endang menjalani semuanya dengan santai. Ia tidak pernah berniat membuka cabang, sesuai dengan makna “Matuh” yang berarti konsisten pada satu tempat. Namun, di balik ketenangannya, tersimpan kekhawatiran. Kedua anaknya ternyata tidak tertarik untuk melanjutkan usaha kuliner keluarga ini.
Kini, di usia senja, Endang hanya bisa pasrah. “Ya, biarkan saja berjalan apa adanya. Gusti Aloh yang maha tahu,” ujarnya. Kisah Sate Domba Garut Matuh menjadi cermin bagi banyak warung kuliner tradisional lainnya. Warisan rasa yang begitu berharga terancam hilang jika tidak ada generasi penerus yang mau melestarikan dan mengembangkan kelezatan yang telah melegenda ini. Semoga, kelezatan Sate Domba Garut Matuh akan terus dinikmati generasi mendatang.
INFOPAJAJARAN.COM
Dapatkan berita dan informasi terbaru dari kami
Ikuti Kami
© INFOPAJAJARAN.COM | Terima kasih atas dukungannya